Jakarta -
Polri menampilkan peragaan lengkap konsep pelayanan unjuk rasa dalam rangka
Apel Kasatwil Tahun 2025, sebagai bentuk kesiapan operasional dan penyegaran
SOP dalam pengendalian massa yang lebih humanis, modern, dan berbasis hak asasi
manusia. Peragaan yang dilakukan oleh Dirsamapta Korsabhara Baharkam Polri
tersebut memperlihatkan secara utuh lima tingkatan eskalasi unjuk rasa, mulai
dari situasi tertib hingga eskalasi rusuh berat, berikut langkah-langkah
kepolisian yang harus dilakukan pada setiap tahap.
Dirsamapta
Korsabhara Baharkam Polri Brigjen Pol Dr. Moh. Ngajib menjelaskan bahwa model
pelayanan unjuk rasa ini merupakan penyempurnaan dari pola lama, dengan
menekankan profesionalisme, proporsionalitas, dan penggunaan kekuatan sesuai
Perkap No. 1 Tahun 2009 serta standar HAM dalam Perkap No. 8 Tahun 2009.
“Peragaan
ini bukan sekadar simulasi, tetapi penegasan bahwa setiap tindakan kepolisian
dalam pengamanan unjuk rasa harus sesuai prosedur, terukur, dan menghormati
hak-hak warga. Itulah standar pelayanan yang wajib diterapkan di seluruh satuan
wilayah,” tegas Brigjen Ngajib.
Dalam
kegiatan tersebut, Polri memeragakan tata cara pelayanan unjuk rasa berdasarkan
lima tingkat eskalasi:
1. Tertib –
Massa patuh imbauan dan kegiatan masyarakat tetap berjalan lancar. Petugas
menerapkan kehadiran polisi sebagai tindakan pencegahan (deterrent) serta
imbauan lisan.
2. Kurang
Tertib – Massa mulai mengejek, provokasi ringan, dan tidak mengindahkan
imbauan. Petugas menerapkan kendali tangan kosong lunak dan negosiasi oleh
Kapolres sebagai pengendali taktis.
3. Tidak
Tertib – Massa mulai melempar, melakukan pembakaran lokal, atau gangguan yang
menyebabkan luka ringan. Petugas melakukan kendali tangan kosong keras dan
pendorongan dengan meriam air (AWC).
4. Rusuh –
Massa melakukan kekerasan, perusakan, serangan fisik, dan penutupan jalan
secara masif. Petugas menerapkan penggunaan senjata tumpul, gas air mata, atau
alat non-mematikan sesuai standar.
5. Rusuh
Berat – Situasi meningkat hingga memerlukan lintas ganti ke satuan Brimob atau
penanganan oleh tim Raimas jika tidak tersedia PHH Brimob.
Menurut
Brigjen Ngajib, penyederhanaan prosedur dari 38 tahap menjadi lima fase membuat
pola pelayanan lebih mudah dipahami dan diterapkan oleh petugas, namun tetap
menjaga prinsip kehati-hatian.
“Kita ingin
seluruh Kasatwil memahami bahwa respons kepolisian tidak boleh reaktif. Ia
harus melalui tahapan yang jelas, dengan evaluasi pada setiap tindakan. Inilah
bentuk modernisasi pengendalian massa yang akuntabel,” ujarnya.
Peragaan
tersebut memperlihatkan keterlibatan terpadu berbagai fungsi kepolisian,
seperti:
- Sabhara
sebagai Dalmas awal,
- Propam
sebagai pengawas tindakan dan kepatuhan prosedur,
- Lalu
Lintas untuk pengaturan arus,
- Reskrim dalam identifikasi provokator dan pelaku pidana,
- Intelkam untuk penggalangan massa,
- Humas melakukan dokumentasi dan publikasi,
- K-9 untuk sterilitas area,
- serta Tim negosiator bersertifikasi untuk meredam eskalasi.
Teknologi baru juga ditampilkan, seperti helm Dalmas dengan konektor suara yang memungkinkan instruksi didengar hingga radius 2 km, serta penggunaan drone dalam pengambilan keputusan taktis.
- Reskrim dalam identifikasi provokator dan pelaku pidana,
- Intelkam untuk penggalangan massa,
- Humas melakukan dokumentasi dan publikasi,
- K-9 untuk sterilitas area,
- serta Tim negosiator bersertifikasi untuk meredam eskalasi.
Teknologi baru juga ditampilkan, seperti helm Dalmas dengan konektor suara yang memungkinkan instruksi didengar hingga radius 2 km, serta penggunaan drone dalam pengambilan keputusan taktis.
Brigjen
Ngajib menegaskan bahwa tujuan utama peragaan ini adalah menyamakan persepsi
seluruh Kasatwil dalam memberikan pelayanan unjuk rasa yang humanis namun tetap
tegas.
“Pelayanan
unjuk rasa bukan sekadar pengamanan, tetapi pelayanan publik. Kita wajib
memastikan massa dapat menyampaikan aspirasi dengan aman, dan negara tetap
hadir menjaga ketertiban umum secara proporsional,” ujar Dirsamapta.
Ia
menambahkan bahwa kemampuan komunikasi, negosiasi, dan penguasaan lapangan
menjadi kunci sukses aparat di era sekarang.
“Kapolres
harus dikenal oleh masyarakatnya. Semakin baik hubungan polisi dengan warga,
semakin kecil potensi eskalasi unjuk rasa meningkat,” tutup Brigjen Ngajib.
